Tikar Mendong, Kerajinan Dari Tasikmalaya yang Ekonomis Namun Ramah Lingkungan

oleh
Tikar Mendong buatan Tasikmalaya yang Ekonis dan Ramah Lingkungan. Konten Jabar/Hens Pradhana.
Tikar Mendong buatan Tasikmalaya yang Ekonis dan Ramah Lingkungan. Konten Jabar/Hens Pradhana.

TASIKMALAYA – Kota tasikmalaya selain dikenal dengan Kota Kredit, dimana banyak warga asal kota ini yang berprofesi sebagai tukang kredit perabot diberbagai kota di Indonesia. Tasikmalaya juga dikenal sebagai sentra pengrajin tikar. Tikar mendong salah satunya, yaitu tikar yang terbuat dari daun mendong. Tanaman mendong sendiri tumbuh seperti padi, merawat mendong seperti merawat padi. Setelah ditanam selama enam bulan, mendong baru bisa dipanen. Panen selanjutnya bisa dilakukan tiga bulan sekali.

Bahan baku tikar mendong menggunakan bahan-bahan alami. Tikar ini pun dapat dikatakan ramah lingkungan karena mudah terurai. Para pengrajinnya percaya, menggunakan tikar mendong lebih baik untuk kesehatan daripada menggunakan tikar plastik.

Salah seorang pengusaha tikar mendong di Jalan Lawang Condong, Kota Tasikmalaya, Endang Kurnawan (50 Tahun) mengatakan, tikar mendong merupakan buah karya tangan-tangan terampil para pengrajin. Artinya memiliki nilai lebih dibanding tikar buatan mesin. Menurutnya, tikar mendong yang terbuat dari bahan alami, jelas berbeda jauh dengan tikar bebahan plastik. Tikar berbahan plastik baru akan terurai setelah beratus-ratus tahun.

“Tikar mendong setelah rusak terus dibuang bisa menjadi pupuk, cepat terurai jadi tanah kembali karena bahan dasarnya alami,” ujar Endang.

Sifatnya yang alami akan cocok digunakan oleh masyarakat kelas atas yang menerapkan gaya hidup go green. Selain itu, masyarakat kelas menengah ke bawah pun cocok menggunakan tikar mendong karena harganya sangat terjangkau. Harga satuannya di kisaran Rp 30 ribu.

Akan tetapi, tumbuhan mendong semakin berkurang dari tahun ke tahun. Menurut Endang, hal tersebut terjadi karena petani mendong beranggapan menanam mendong sudah tidak menguntungkan lagi.

Ketika keuntungan dirasakan semakin berkurang, mereka beralih melakukan pekerjaan lain untuk mendapatkan keuntungan. “Petaninya juga membandingkan, apakah menanam mendong atau padi yang lebih menguntungkan.” jelas Endang. (Hens Pradhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *