TASIKMALAYA – Mendengar nama Kampung Naga, mungkin ada yang berpikir akan menemukan seekor naga ketika berwisata ke Kampung Naga. Penasaran dengan peradaban Kampung Naga? Kontenjabar.com akan sedikit mengulas mengenai sebuah kampung yang begitu fenomenal dalam memegang teguh adat para leluhur dalam bahasa sunda disebut ‘Karuhun’ yang masih dijalani hingga era modern sekarang ini.
Bagi yang sering bepergian melalui jalur Tasikmalaya, Kampung Naga tersebut terletak di wilayah yang cukup strategis, relatif dekat dengan perkotaan. Tetapi peradaban masyarakat Kampung Naga masih sangat sakral dengan budaya karuhun secara turun temurun, dan menurut mereka hal tersebut merupakan suatu penghormatan tersendiri.
‘Pamali’ atau tabu berpengaruh sangat kuat bagi masyarakat Kampung Naga. Pamali diartikan juga sebagai pantangan, yaitu ketentuan hukum tidak tertulis yang wajib dijunjung tinggi serta dipatuhi oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktifitas kehidupan.
Misalnya tata cara membangun dan membentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian dan sebagainya. Dalam hal membuat rumah, masyarakat Kampung Naga tidak diperbolehkan untuk mengisi dengan perabot seperti kursi, meja, dan tempat tidur.
Rumah tidak boleh mempunyai dua daun pintu pada arah berlawanan, sehingga masyarakat Kampung Naga selalu menghindari pemasangan pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. Menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, hal tersebut dimaksudkan agar rezeki yang masuk melalui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang.
Dalam hal pernikahan, jika ada salah satu warga menikah dengan orang di luar keturunan asli Kampung naga, maka akan dipersilakan untuk membuat rumah diluar kompleks Kampung Naga. Namun harus membuat ciri khusus pada pintu rumah untuk menandakan bahwa mereka adalah keturunan Kampung Naga.
Dari segi religi dan sistem pengetahuan, penduduk Kampung Naga mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi anak-anak Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orangtua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang bertepatan dengan Hari Raya Haji (10 Dzulhijah). Upacara hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.
Ada beberapa versi mengenai awal mula keberadaan Kampung Naga. Beberapa sumber menceritakan pada masa Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdi-nya bernama Singaparna ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah barat.
Kemudian Singaparna sampai di daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam persemediannya, Singaparana mendapat petunjuk bahwa ia harus mendiami suatu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat Kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut. (Hens Pradhana)