JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Utara, telah menggulirkan 21 kali persidangan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mulai dari bekas gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat hingga di Auditorium Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan pihak penasihat hukum “bertarung” untuk meyakinkan hakim. Saksi dan ahli dihadirkan di muka persidangan. Tidak hanya fakta-fakta hukum bermunculan, namun banyak juga drama yang mewarnai.
Kurang dari dua pekan, tepatnya tanggal 9 Mei 2017 mendatang, Majelis Hakim PN Jakarta Utara akan menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ahok terkait kasus dugaan penodaan agama.
JPU pun sudah menyampaikan tuntutan, menyatakan Ahok bersalah dan meminta majelis hakim untuk menjatuhi hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
Lantas apa harapan tim penasihat hukum Ahok? Bagaimana penasihat hukum memandang secara keseluruhan persidangan yang sudah berjalan? Beritasatu.com mewawancari adik kandung Ahok, Fifi Lety Indra, yang juga merupakan koordinator tim penasihat penasihat hukum Ahok. Berikut petikan wawancaranya:
Sidang vonis kurang dari dua pekan lagi. Apa persiapan dan harapannya?
Fifi: Tidak ada yang dipersiapkan. Kami tidak tahu vonisnya apa. Kita menunggu saja hasilnya. Kita hanya berharap bahwa hakim mau melihat fakta-fakta dan bukti-bukti yang sudah terbuka di persidangan. Jangan sampai kasus terulang lagi, jangan sampai ini karena rekayasa, bukti rekayasa, laporan rekayasa. Bayangkan pelapor sama ahli, masa BAP-nya bisa sama persis.
Pelapor mengaku saling tidak kenal, saling jauh dari kota lain, ini inisiatif sendiri, tapi sama persis. Sampai salah-salahnya sama persis, titik-komanya sama. Sampai sepatunya sama.
Kalau hanya dua orang, ya kebetulan. Tapi kalau sudah sekelompok ada apa ini? Kayak didandanin sebelum sidang. Ya, sudah pasti rekayasa. Sudahlah. Sudah menang, tujuannya sudah tercapai, ya sudahlah. Mau apa lagi? Orang jelas-jelas kalau menista agama harus dilihat niatnya. Mana ada orang niat menista agama.
Apakah Anda optimis Ahok bebas?
Fifi: Kita harus beriman dan percaya ya. Tapi keputusan kan di tangan hakim. Hakimnya takut sama massa atau tidak. Ini kan sejak awal juga tekanan massa. Padahal di kepolisian sudah dibilang ini tidak ada pidananya, terus sampai kejaksaan tidak ada pidananya. Harusnya tidak boleh P21. Tapi ya sudahlah. Sudah lewat.
Pandangan Anda tentang tuntutan Jaksa Penuntut Umum?
Fifi: Saya tidak mau komentar apa ya, tapi kita semua tahu, ini kan pengadilan massa. Tinggal berani atau nggak saja. Tapi ini akan jadi buruk, kalau nanti semua-semua tekanan massa, tidak usah ada hukum lagi.
Bagaimana Anda memandang secara keseluruhan persidangan ini?
Fifi: Sangat melelahkan ya. Orang disidang karena fitnah, tanpa bukti yang jelas. Sembilan ahli pidana yang diundang, enam bilang tidak ada pidananya, cuma tiga yang bilang ada. Penyidik saja bilang tidak ada, kejaksaan waktu awal juga bilang tidak ada.
Kan sudah jelas-jelas rekayasa politik ini. Sudah jadi rahasia umum lah. Mana ada orang Kepulauan Seribu yang lapor, mana ada orang yang tersinggung dan marah. Yang datang bilang tidak ada apa-apa, wartawan kan banyak. Setelah sembilan hari muncul unggahan Buni Yani, baru. Kan Buni Yani sudah jadi tersangka, harusnya kan sudah terbukti.
Misalnya ada seorang pencuri. Kemudian, pencuri sebenarnya tertangkap, masa yang dituduh mencuri tetap dihukum juga. Mana ada hukum karena orang memaksa. Karena banyak orang demo, supaya aman. Kan aneh.
Keluarga menghadapi persidangan ini seperti apa?
Fifi: Kalau dari sisi keluarga, saya lempar pertanyaan saja coba nilai sendiri bagaimana perasaan kita. Kalau Pak Ahok itu bukan keturunan dan agamanya bukan Kristen, apakah sidang hari ini ada?
Itulah perasaan kami. Kita tidak bisa pilih lahir sebagai suku apa, kita tidak bisa pilih apakah dapat hidayah atau tidak, kita tidak bisa pilih karena itu semua kedaulatan Tuhan. Setahu saya, agama saya, hak saya, kewajiban saya, semua dijamin oleh konstitusi, dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, setiap warga negara memiliki kesamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Artinya, siapa pun kita, mau suku apa pun kita, agama apa pun, sebagai anak Indonesia kita mempunyai kedudukan yang sama di dalam pemerintahan juga. Artinya, kita bisa melayani juga. Bayangkan, mana ada sih orang kalah dicintai rakyat seperti ini. Saya tidak pernah melihat orang mendapat kiriman bunga begitu banyak.
Ini kemana-mana dipeluk orang nangis-nangis. Kita keluarga saja nggak ada yang nangis. Yang kasihan orang-orang kecil juga. Semoga saja ke depan semua akan lebih baik. Pak Ahok kan selalu bilang, kalau ada yang lebih baik dari saya silahkan. Tapi jangan lebih baik karena agamanya, sukunya. Harus karena kinerjanya.
Sekarang kan, Jakarta orang puas karena kinerja 80 persen. Kinerja Pak Basuki dapat rapor baik, penghargaan terbanyak. Tapi dihantam isu agama, dikasih cap penista agama. Bagaimana bisa pengadilan di luar pengadilan. Hak azasi manusia dilanggar. Setiap orang harus dianggap tidak bersalah, tapi ini kan tidak.
Intinya, dari dulu kami mengalami diskriminasi. Kapan ini mau berakhir. Cukup lah Ahok korban terakhir diskriminasi di bangsa ini. Jangan ada lagi.
Sebagai adik kandung, Anda memandang sosok Ahok seperti apa?
-Tarik nafas- Waduh, sosok paling hebat deh, setelah Papa saya. Itu manusia hebat. Bayangkan dia kalah pemilihan tanggal 19, bukan kita hibur dia, tapi dia hibur kita. Terus, besoknya itu langsung sidang. Sekali lagi, bukan kita pengacara menghibur dia, menenangkan dia dengan tuntutan yang ada malah dia hibur kita. Dia tidak ada beban. Orang melayani dengan hati.
Tidak gampang jadi Pak Ahok itu. Bangun jam 4 pagi setiap hari. Pulang jam 10 (22.00) malam, masih membawa sekoper pekerjaan. Paling lama dia tidur 3-4 jam setiap hari. Sabtu-Minggu keliling ke masyarakat.
Apakah ini merupakan didikan orangtua dari kecil?
Fifi: Selain dia harus disiplin, dia juga harus mengurusi adik-adiknya. Karena kita sejak SMP semua pindah ke Jakarta. Jadi pak Ahok itu orangnya tanggungjawab. Saya kuliah di Depok, dia bisa anterin. Rumah di Muara Karang, dianterin. Kalau kita ada ujian, ditungguin, disuruh belajar. Disiplinnya luar biasa.
Dia mengurusi makan-minum kita semua. Sejak SMP-SMA dia sudah tanggung jawab atur uang sopir, pembantu, rumah, kita punya uang jajan, semua. Dan, dia tulis semua pengeluaran, laporan ke papa saya. Padahal tidak disuruh. Satu perak pun uang tidak boleh dikorupsi. Itu Pak Ahok.
Rupanya itu latihan. Dari perkara kecil, Tuhan kasih perkara besar. Dari ngurusin uang sekolah, uang makan kita sehari-hari di Jakarta, sampai urusin uang rakyat. Bayangkan, uang bapaknya saja dia tidak mau korupsi, padahal dia punya hak, dikasih hak penuh sama papa mau dipakai apa pun uangnya. Itu saja dia laporan. Bapak saya tidak minta. Mau dilihat, mau nggak, dia buat saja, itu saking tanggungjawabnya.
Dia suka ngomong, mau tahu orang takut Tuhan seperti apa? Bukan orang yang ‘maaf ya’ bukan yang berdoanya banyak, atau baca kitab sucinya banyak, bukan dia bilang. Orang yang takut sama Tuhan hanya satu, tidak bikin dosa sekali pun tidak ada yang melihat.
Karena Tuhan lihat. Tuhan itu tidak pernah ngantuk, tidur atau pikun. Tuhan lihat apa yang kita perbuat. Apa itu baik atau jahat. Entah itu tersembunyi atau terbuka. Kita bisa menipu orang, kita bisa bohong tipu semua manusia, tapi Tuhan lihat kita. Tuhan lihat ke hati kita.
Dia paling takut bikin dosa. Karena, sudah mati kita harus pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dan, dia percaya walau pun saya mati pasti masuk surga, menurut iman kepercayaan saya.
Tetapi, tetap saja kita kalau dikasih kehidupan sama Tuhan ya, kita kembalikan kepada Tuhan. Yang namanya pelayanan kepada Tuhan, ya melayani manusia ciptaan Tuhan. Yang miskin dan kekurangan.
Kenapa Ahok sangat cinta Indonesia, khususnya Jakarta?
Fifi: Bukan hanya Jakarta, khususnya seluruh Indonesia. Ini dimulai dari bapak saya almarhum. Dulu, orang boleh pilih mau pulang ke Tiongkok atau tetap tinggal di Indonesia, bapak saya memilih tinggal di Indonesia dan mengubah namanya Tjung Kim Nam menjadi Indra Tjahaja Purnama. Artinya, dia dengan sadar memilih Tjahaja itu cahaya matahari, Purnama itu bulan purnama karena matahari dan bulan purnama itu memberikan sinarnya kepada semua orang tanpa memandang suku dan agama. Dia ingin keturunannya seperti itu. Ini Tanah Air kita.
Papa saya almarhum selalu pesan, khususnya waktu itu kita (di luar negeri) selalu disuruh pulang kampung. Dia bilang bangsa ini membutuhkan kita. Kita punya kewajiban membangun bangsa ini. Ini Tanah Air kita, kita lahir dan mati di sini.
Dari kecil kita dipaksa menyanyikan lagu kebangsaan. Kita semua hafal lagu kebangsaan. Bapak saya cinta sekali tanah airnya. Cinta sekali dengan keluarganya yang orang Melayu asli, baik orang Bugis, Batak, semua orang bapak saya saudara.
Dia tidak pernah beda-bedakan. Dia selalu kasih contoh. Kalau ada orang sakit dia selalu datang, titip duit, bilang ke dokter ini saudara saya. Satu kampung diakui saudara sama dia. Kalau ada orang sakit, dia tidak punya duit, dia pinjam duit buat ngobatin orang sakit. Dia anggap semuanya satu saudara satu sebangsa dan setanah air.
Bapak saya selalu bilang kamu orang Indonesia, keturunan Tionghoa, beragama ini. Jangan bilang saya orang Kristen atau orang Budha atau orang Tionghoa. Tidak boleh, harus orang Indonesia, tapi keturunan.
Sekarang kami jadi mengerti kenapa bapak saya bilang kamu orang Indonesia, bukan orang Tionghoa, Kristen atau Budha. Kenapa? Supaya kita mengedepankan Indonesia. Inilah Bhinneka Tunggal Ika, ini sebangsa dan setanah air. Jadi kita tidak ada perbedaan, kita satu. Beda-beda tapi satu. Yang ditonjolkan bukan beda-bedanya, tapi satunya.
Begitu kamu merasa minoritas, begitu kamu merasa pribumi atau non pribumi, begitu kamu merasa orang ini atau orang itu, sudah terjadi pengkotak-kotakan. Makanya kotak-kotak harus dijaring, jadi bukan lagi kotak-kotak terpisah, tapi jadi satu. Indah dan harmoni. Kita akan menjadi satu konser musik yang indah.
Kami memang tidak diajarkan pandai berbicara sama bapak. Kami diajarkan kamu harus berterus terang. Apa yang ada di hati kamu, di pikiran kamu harus sama. Lebih baik jujur walaupun pahit dan tidak enak didengar. Semanis-manisnya kebohongan, tetap lebih manis namanya kejujuran. Ini sudah tertanam.
Sedalam apa teladan orangtua tertanam?
Fifi: Dia (Ahok) bilang lebih gampang mengajari orang lewat teladan. Makanya dia kasih contoh, dia harus lebih rajin, lebih jujur, bekerja lebih keras. Lihat nggak dia pergi ke kolong jembatan melewati tembok besar. Dia serius. Saya tahu kakak saya. Dia di rumah saja kalau tidak ada pembantu, dia tidak perintah-perintah nyapu atau ngepel. Dia langsung ambil sapu dan menggepel, cuci piring sendiri, kasih contoh. Dia ambil alih pekerjaan. Itu kokoh Ahok.
Apalagi kalau kita mau ujian. Dia tidak kasih kita kerja, dia suruh kita belajar. Dia yang kerjakan semua. Akhirnya, kita tidur dia baru belajar. Padahal dia juga ujian. Saya tinggal dengan Pak Ahok sampai anak kedua. Makanya saya tahu persis kehidupan sehari-hari dia.
Apakah Ahok memberikan teladan kepada anak dan istri?
Fifi: Ya, dia memberikan teladan. Memang di rumah kan diajarkan itu. Diajarkan bahwa apa yang kita omong, ya kita kerjakan. Kalau kita diberi tanggungjawab, ya harus diselesaikan dengan baik.
Kalau kita berbuat baik, lupakanlah karena itu urusan Tuhan untuk balas kita. Tapi kalau orang berbuat baik kepada kita, harus kita ingat seumur hidup. Kalau kita menolong orang, jangan sampai orang itu merasa hutang kepada kita. Karena kita memang dari hati mau menolong. Karena kita sudah ditolong Tuhan lebih dulu. Kita bisa menolong karena Tuhan kasih kelebihan lebih banyak.***
(Deni)
BeritaSatu.com