Cukup Foto Kopi Sertifikat, Tidak Perlu Cicil Pelunasan
Pada awal bulan Agustus lalu sempat di hebohkan dengan adanya kasus kredit yang melibatkan 345 orang guru sebagai nasabahnya di Jawa Barat. Kucuran perkreditan itu hingga berujung masalah. Pasalnya, agunan nasabahnya adalah dokumen sertifikat profesi palsu.
Berikut modus operasi sindikat yang di duga merugikan sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hingga Rp. 36 miliar.
KONSENTRASI Ketua PGRI Cabang Kecamatan Kertosari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat (Jabar), Agus Derajat, saat harus terpecah. Yakni sebagai guru di SDN Tarumajaya 02 Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung dan mendampingi sejawatnya yang sedang berkera hukum.
Dia mengungkapkan, ada 21 orang guru dari Kecamatan Kertasari yang menjadi bagian dari 345 guru korban kredit menggunakan sertifikat profesi guru palsu.
“Di Kecamatan semuanya guru PNS yang ngajar di SD,” katanya, pada Senin 4 September 2017 lalu.
Agus menjelaskan, seluruh guru yang tersangkut perkara kredit itu berasal dari sejumlah kabupaten dan kota di seluruh wilayah Jawa Barat. Khusus untuk di wilayah Kabupaten Bandung, jumlahnya mencapai 203 orang. Sisanya ada yang dari Bogor hingga Bekasi.
Perkembangan dari pihak kepolisian, hingga saat ini ada 14 orang tersangka terkait kasus kredit tersebut. Tujuh orang di antaranya berstatus tahanan di Polda Jawa Barat. Dari ketujuh orang itu, tiga di antaranya guru. Kemudian tiga orang lagi pegawai BPR, serta seorang pembuat sertifikat guru palsu berinisial YY.
Di luar 14 orang itu, seluruh guru berstatus sanksi. Sehingga mereka tidak bersedia untuk di mintai komentar. Tetapi, karena Agus mendampingi kasus ini dari awal, dia mengaku mengetahui kasus ini secara utuh. Termasuk iming-iming dari sindikat, sehingga banyak guru yang kepincut mengikuti program kredit itu.
Agus menceritakan, untuk setiap kecamatan, ada seorang guru yang bertugas menjadi koordinator kredit. Kuat dugaan sisa tersangka lain yang tidak di tahan, adalah para guru yang berstatus koordinator.
“Kalau di kecamatan saya, koordiantor yang mengiming-imingi serta merekrut guru posisinya sedang di tahan,” jelas Agus.
Koordinator guru yang bertugas di Kecamatan Kertasari, adalah Joh. Dia berstatus sebagai guru di sebuah SD. Dalam melancarkan aksinya, Joh ini memberikan uang sebesar Rp. 5 juta kepada setiap guru yang bersedia bergabung.
“Dia guru biasa. Bukan tokoh atau pimpinan organisasi guru,” katanya.
Selain bersedia memberikan uang pancingan sebesar Rp. 5 juta terlebih dahulu, Joh menyampaikan bahwa setelah mengambil kredit itu, para guru tidak perlu daftar cicilan pengembalian uang. Kenapa kok tidak perlu mengansur, karena separuh dari plafon kredit di endapkan di bank sebagai tabungan beku. Kemudian program ini juga mendapatkan subsidi serta keringanan lainnya.
Selain itu, untuk mendaftar menjadi peserta program kreditnya, para guru tidak perlu repot. Cukup menyerahkan foto kopi sertifikat profesi guru saja.
“Siapa yang tidak tertarik coba. Dapat kucuran kredit tetapi tidak perlu mengangsur untuk pelunasan,” jelasnya.
Para guru tidak tahu, ternyata foto kopian sertifikat itu di gunakan sebagai sumber untuk pembuatan sertifikat palsu. Oleh Joh, fotokopian sertifikat itu di serahkan ke oknum BPR. Kemudian oleh oknum BPR itu, di berikan kepada YY si pembuat sertifikat palsu yang beralamat di Tambora, Jakarta. Menurut Agus, BPR yang terkait kasus ini bernama BPR Bahtera Masyarakat Papua, yang berbasis di Bogor.
Setelah beberapa waktu, proses pengajuan kredit yang menggunakan sertifikat palsu itu selesai. Para guru di telpon oleh orang BPR untuk mengambil uangnya di Bogor. Karena tahu akan mendapatkan uang segar, para guru yang berasal dari Kabupaten Bandung sampai nekat berangkat ke Bogor.
“Anehnya, pencairan uangnya itu di lakukan setelah jam 16.00. Setelah jam operasional resmi BPR selesai,” ungkap Agus.
Sesuai dengan perjanjian awal, para guru tidak mendapatkan dana secara utuh. Misalnya ada guru yang mendapatkan plafon kredit Rp 71 juta, kemudian di potong Rp 20 juta sebagai simpanan di tabungan beku. Sampai saat ini belum jelas apakah tabungan beku itu benar-benar di kelola oleh BPR atau masuk kantong para sindikat.
Setelah di potong untuk simpanan tabungan beku, uang yang di terima guru kembali di sunat. Kali ini di potong oleh guru yang jadi koordinator di tingkat kecamatan tadi. Sehingga akhirnya para guru tinggal menerima kisaran Rp 15 juta sampai Rp 19 juta saja.
Meskipun uang yang di terima jauh dari plafon kucuran kredit, para guru tidak mempersoalkannya. Sebab mereka tidak perlu membayar cicilan pelunasan.
Menurut Agus, pada kasus ini, guru yang bertugas sebagai koordinator dan terkait dengan sindikat, wajar jika kemudian di seret menjadi tersangka. Tetapi untuk ratusan guru lainnya, dia berharap tidak sampai di jadikan tersangka.
“Karena sejatinya mereka itu korban pembohongan. Tidak tahu jika fotokopian itu ternyata di gunakan untuk membuat sertifikat palsu,” tuturnya.
Dia sangat menyayangkan sikap bank yang tidak mau ambil pusing. Dalam proses pendampingan kasus ini, Agus mendapatkan kabar bahwa pihak bank meminta para guru mengembalikan uang seratus persen dari kucuran kredit. Artinya, jika dalam pembukuan bank guru itu mendapatkan Rp 71 juta, misalnya, guru itu harus mengembalikan utuh Rp 71 juta. Padahal menurut Agus, uang yang di terima guru tidak utuh.
Agus menjelaskan, sampai sekarang belum ada kepastian kapan kasus ini sampai ke meja pengadilan. Sebab dari pihak bank menjanjikan mencabut laporan jika seluruh guru mengembalian uangnya dengan utuh. Sebaliknya jika tidak, kasus ini di biarkan sampai ke pengadilan.
Hingga berita ini di turunkan, pihak bank belum bisa di konfirmasi. Sementara, terkait dengan adanya modus menggunakan sertifikat fotokopian untuk membuat sertifikat palsu, tidak di bantah oleh Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus.
“Iya seperti itu. Guru-guru itu menyerahkan fotokopian ke koordinator. Lalu di buat dokumen palsu oleh YY yang kita gerebek,” katanya saat di temui di Mapolda Jawa Barat, belum lama ini.
Yusri menuturkan, pada 8 Agustus 2017 jajaran Polda Jawa Barat menggerebek rumah Jalan Tubagus Angke, Siaga I, Tambora, Jakarta, terkait kasus pemalsuan sertifkat guru itu. Dia menjelaskan, bahwa di rumah itulah, si YY membuat ijazah palsu. Saat ini polisi sedang mendalami. Karena di duga kuat YY tidak hanya menerima order pembuatan dokumen palsu terkait kasus kredit BPR itu saja.
Terkait perkembangan kasusnya sendiri kata Yusri, sementara ada 14 orang yang di tetapkan sebagai tersangka. Tetapi hanya separuh yang di tahan.
“Sisanya tidak di tahan. Ada yang guru. Karena siapa tahu itu guru dari anak kamu,” tuturnya.
Sementara, untuk guru-guru lainnya, Yusri menjelaskan, statusnya baru hanya sebagai saksi. Dia berlum bisa membeberkan detail proses penyidikan kasus kredit sertifikat palsu itu. Yusri berharap, adanya kasus seperti ini, agar masyarakat tidak mudah di bujuk untuk ikut program kredit yang penuh kejanggalan.
Di antara kejanggalan pada kasus ini adalah, dokumen yang di serahkan hanya fotokopian. Kemudian yang namanya kredit, lazimnya guru itu di bebani angsuran untuk pelunasan. Selain itu pengajuan kredit juga ada proses wawancara dengan pegawai bank resmi.
KREDIT BPR DENGAN AGUNAN SERTIFIKAT PROFESI GURU PALSU
1.Melibatkan lima unit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
2.BPR tersebar Kabupaten Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, dan beberapa daerah lain
3.Sementara 14 orang tersangka, tujuh diantaranya ditahan
4.Kerugian BPR mencapai Rp 36 miliar
- Plafon kredit berkisra Rp 70 juta – Rp 90 juta
6.Total 345 orang guru yang ikut program kredit bermasalah
7.Satu orang (YY) merupakan pemain dalam pembuatan dokumen palsu
8.Terungkap pada 8 Agustus 2015 oleh Polda Jawa Barat***
Sumber : Jabar Ekspres.com