JAKARTA – Melalui laporan polisi bernomor LP/1356/XII/2017 Bareskrim, mantan Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Randi Anton, dan Direktur Utama BRI, Suprajarto, dilaporkan ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri. Senin, 11 Desember 2017.
Penyebabnya, keputusan pailit yang diajukan pihak BRI yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, dianggap telah merugikan orang lain yang bukan Debitur.
“Turut dilaporkan juga R. Pandu Bagja Sumawijaya yang merupakan Kepala BRI Cabang Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Tim Kurator,” ujar Johnny Situwanda, kuasa hukum korban kepada wartawan. diarea Bareskrim Polri, Jakarta. Selasa, 12 Desember 2017.
Johnny mengatakan, bermulanya perkara itu saat atas nama Nyonya Lusy yang merupakan Ibunda Ita Yuliana, mengajukan pinjaman ke BRI Cabang Sumbawa, dengan pinjaman sekitar Rp.5,1 miliar, dengan jaminan sejumlah barang berharga yang diantaranya Tujuh Sertifikat meliputi rumah, rumah toko (Ruko), dan tanah.
Dalam perjalanannya, ibunda Ita yakni Nyonya Lusy tersebut, dinilai pihak BRI tidak memenuhi kewajiban dalam membayar angsuran. Oleh karena itu, gugatan sebagai Debitur yang pailit didaftarkan oleh pihak Bank. Kemudian, putusan hakim atas gugatan hal tersebut berpihak kepada BRI, sehingga eksekusi dilakukan. Munculnya persoalan, karena pasca eksekusi harta benda yang disita bukan hanya milik Debitur, akantetapi juga yang merupakan miliknya Ita Yuliana.
“Tim kurator memancangkan tiang dengan papan pengumuman yang bertuliskan bahwa, Tanah, Rumah, beserta Isinya seperti barang berharga, barang usaha dan perhiasan, sebagai objek jaminan yang disita,” terang Johnny.
Total nilai keseluruhan harta benda milik Ita Yuliana yang disita, mencapai Rp.35 miliar. Sementara, sebelumnya tim kurator juga telah menyita barang berharga jaminan milik Nyonya Lusy senilai Rp.37 miliar.
Di samping telah menyita barang berharga yang bukan termasuk jaminan, tim kurator juga dinilai bertindak tidak sepatutnya dalam proses eksekusi, tim kurator juga dituding melakukan pengrusakan.
“Selain melakukan eksekusi terhadap bukan objek yang dijadikan jaminan, tim kurator juga melakukan perusakan dengan mencongkel rumah ketika menjalankan eksekusi, itu tindakan yang sangat tidak patut dilakukan oleh seorang kurator. Semua yang menjadi dugaan tindakan pidana yang merugikan itu telah di laporkan oleh klien kami sebagai dugaan perbuatan tindak pidana ke polisi,” tegas Johnny.
Terlapor dikatakan Johnny, dijerat Pasal 368, 406, 335 dan 55 KUHP, tentang tindak pidana perampasan, pengerusakan dan perbuatan tidak menyenangkan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan berencana memproses hukum terkait keputusan pengajuan pailit oleh bank, karena dinilai menyalahi aturan.
Johnny menambahkan, jika seorang debitur dinyatakan sudah tidak sanggup membayar angsuran dari uang yang dipinjamnya, seharusnya tindakan berupa pelelangan barang jaminan sudah cukup. Bukan bank malah mengajukan kepailitan.
Tidak hanya itu, bahkan prosedur dan syarat pengajuan kepailitan juga dianggap Johnny telah dilanggar oleh BRI.
“Syarat kepailitan itu minimal harus ada dua Kreditur. Di situ dimasukkan pihak Asuransi yang seharusnya bersama-sama dengan BRI merupakan satu Pihak dalam Perjanjian Kredit, karena asuransi adalah permintaan atau ketentuan dari BRI bahwa setiap Debitur harus diasuransikan. Karena itu sedang kita kaji, apakah ini ada kebohongan kepada pengadilan atau tidak,” pungkasnya.
(Deni)
Sumber : Wartamerdeka.info