LAMPUNG – Lagi-lagi, kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini, Kepala Biro SKH Bongkar Post Kabupaten Lampung Utara bernama Hartoni, alami kekerasan fisik oleh salah seorang oknum Aparat Keamanan saat melakukan investigasi di lapangan terkait proyek Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Lampung yang bersumber dari anggaran tahun 2017.
Diketahui, proyek tersebut berupa pembangunan Jalan Rigid Beton di Bandar Abung – Simpang Tujoh, Kecamatan Muara Sungkai, Kabupaten Lampung Utara, dengan anggaran sebesar Rp. 4,5 miliar, yang dikerjakan oleh PT. Karya Kamefada Wijaya Indonesia.
Saat itu, Hartoni bersama dua orang rekannya, yakni Nofriyanto Ketua LSM Reformasi, dan Rizal Kepala Biro Merdeka News, sedang melakukan investigasi sekaligus merekam hasil pekerjaan guna bahan pemberitaan di lokasi pekerjaan proyek tersebut yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan kontrak. Sehingga Hartoni bersama dua orang rekannya itu mencoba menanyakan (Konfirmasi) terkait perihal proyek tersebut kepada salah seorang pengawas pekerjaan yang ada di lokasi. Selasa, 05 Desember 2017 sore hari,
Entah kenapa, pengawas tersebut secara langsung menelpon seseorang berinisial AR, yang ternyata adalah oknum Aparat Keamanan dari Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Kompi Lampung Tengah. Tidak lama kemudian, AR datang ke lokasi pekerjaan proyek menggunakan kendaraan R4 (Mobil) ditemani beberapa orang rekannya.
Kemudian, AR yang saat itu mengenakan pakaian sipil dan diketahui sebagai Aparat Keamanan, menghampiri Hartoni dan rekannya dengan memegang senjata laras panjang. Tanpa melakukan perlawanan, Hartoni langsung diterjang dengan popor senjata, lalu ditendang, dan ditempeleng oleh AR, bahkan, kantong bajunya hingga robek akibat ditarik AR hendak merebut handphone Hartoni yang ada di dalam kantong kemejanya berwarna biru.
Atas kejadian itu, pihak media SKH Bongkar Post mendukung penuh adanya penuntasan kasus kekerasan yang dialami jurnalisnya yang sedang melaksakan tugas.
“Ini membuktikan arogansinya seorang Aparat Keamanan terhadap kinerja jurnalis, yang secara aturannya harus melayani masyarakat dengan baik, dan tidak seharusnya oknum aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil, ini malah terbalik. Apalagi yang menjadi korban ini adalah seorang jurnalis yang sedang melaksanakan tugasnya di lapangan, mencari informasi dan mengkonfirmasikannya ke sumber berita. Bukan yang didapat malah hantaman popor senjata. Ini apa namanya kalau bukan arogan,” tegas Tika, Pimpinan Redaksi Bongkar Post, saat menjenguk korban, di salah satu rumah sakit di Lampung. Rabu 06 Desember 2017 petang.
Saat ini, dikatakan Tika, korban mengalami traumatis dan sesak nafas, akibat perlakuan kekerasan yang dialaminya itu, sehingga korban harus dibawa ke rumah sakit guna perawatan.
“Akibat kekerasan fisik yang dialaminya, korban hingga harus menggunakan alat bantu nafas dan oksigen. Dibeberapa bagian tubuh korban memar-memar dan terasa sakit,” ungkap wanita berkerudung itu.
Menurutnya, apa yang dilakukan oknum Aparat Keamanan tersebut jelas-jelas diluar tupoksi dan sudah menyalahi wewenang.
“Disini terjadi pelanggaran UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, dimana aparat keamanan tersebut menghalang-halangi tugas wartawan, itu bisa kena sanksi pidana berikut denda juga,” katanya.
Sementara, pihak UPT Wilayah 4 Dinas PU Provinsi Lampung, Mega Asli, saat dikonfirmasi mengatakan, saya tidak mengetahui ada pekerjaan pembangunan Jalan Rigid beton di Bandar Abung – Simpang Tujoh, Kecamatan Muara Sungkai, Kabupaten Lampung Utara yang senilai Rp. 4,5 miliar, tahun 2017 itu.
“Saya sendiri tidak mengetahui adanys proyek tersebut di lokasi itu, saya tahunya baru saat ini, ketika ada masalah seperti ini,” kata Mega di kantornya. Kamis, 07 Desember 2017.
Ia juga menyayangkan adanya kejadian kekerasan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis.
“Saya sudah memberitahu Kadis tentang persoalan ini, bahwa saya tidak pernah diberitahu adanya paket pekerjaan disini (Lampung Utara, red). Tapi, ketika hendak pencairan PHO, saya baru dihubungi dan disuruh tanda tangan, ini yang saya tidak mau.
Bahkan tambah Mega, saya pernah menolak ketika disuruh tanda tangan terkait PHO, saya tidak mau, apa yang saya tanda tangani di kemudian hari ternyata bermasalah. Karena, pastinya yang ada tandatangan disitu yang akan dipanggil dan bermasalah. Nah, hal ini yang saya koordinasikan dengan Kadis,” terang Mega.
(Red)
Sinarrakyat.com