JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo memutuskan untuk mengambil sejumlah langkah baru Indeks Persepsi Korupsi yang di nilai lamban membaik. Salah satunya, dengan mengeluarkan peraturan presiden baru yang berkaitan dengan strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Selama ini, antara KPK dan pemerintah, tidak satu agenda, jadi akan dibuatkan agenda tunggal strategi pencegahan korupsi,” kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Jumat, 3 Maret 2017. Hal ini di bahas Kantor Staf Presiden hari ini bersama Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rencananya, Perpres baru itu akan menggantikan Perpres No.55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Perpres lama itu di keluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Teten menjelaskan, Perpres yang di keluarkan SBY itu sifatnya di nilai terlalu luas sehingga Indeks Persepsi Korupsi (IPK) lamban naik. Dengan kata lain, terlalu banyak yang ingin dicapai dalam perpres itu. Sedangkan Perpres yang baru akan lebih mengerucut sifatnya untuk mendongkrak perbaikan IPK.
Fokus perpres baru adalah bidang pengadaan, perizinan dan tata niaga, serta penerimaan negara. Ketiga hal itu sudah di setujui Presiden Joko Widodo.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo membenarkan pernyataan Teten. Ia menjelaskan bahwa keputusan untuk fokus pada tiga hal itu diambil setelah mempertimbangkan dampaknya. Menurutnya, dampaknya lebih signifikan dibanding menetapkan target yang luas.
“Misalnya perizinan, salah satu komponen IPK adalah Index of Doing Business.” Data informasi akan diintegrasikan agar masyarakat hingga presiden bisa mengawasi proses perizinan.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro meminta aparatur sipil negara, yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, untuk tidak takut dengan rencana dan strategi baru ini. Menurut dia, rencana dan strategi justru untuk memastikan pengadaan barang dan jasa tidak tersangkut pada tindakan-tindakan koruptif.
“Ini agar belanja pemerintah lebih efisien, lebih murah, dan yang lebih penting adalah terciptanya ekonomi berbiaya rendah,” ujar Bambang.
(Deni / Tempo.co)