JAKARTA – Sektor swasta merupakan sektor yang paling rawan terjadi korupsi. Sebab, sepanjang berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 156 orang dari pihak swasta telah di jerat kasus korupsi. Jika di banding dengan sektor yang lainnya seperti Penegak Hukum dan Penyelenggara Negara, sektor swasta mencetak rekor korupsi yang paling tinggi. ucap Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di Jakarta, Selasa 21 Maret 2017.
Menurut Syarif, Modus korupsi pada sektor swasta kebanyakan adalah menyuap para penyelenggara negara atau pejabat publik yang hingga miliaran rupiah guna mewujudkan kepentingan pribadinya. KPK meyakini uang suap yang di berikan berasal dari perusahaan atau korporasi. Namun, pihak yang di tangkap atau di tersangkakan rata-rata berdalih uang tersebut adalah milik pribadi.
“Itu total kebohongan, dia pasti mengambil uang perusahaan dan dia (bertindak) atas nama perusahaan,” kata Syarif sewaktu berbicara dalam seminar bertajuk “Menjerat Korporasi dalam Pertanggungjawaban Hukum,” saat itu.
Pihaknya sangat berharap, di terbitkannya Perma No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, dapat memudahkan penegak hukum dalam menjerat pidana korporasi yang terlibat korupsi.
Syarif bahkan mengisyaratkan KPK bakal menjerat para korporasi nakal, karena pihaknya malu dengan penegak hukum lain yang telah berhasil menjerat korporasi dalam perkara korupsi.
“Saya malu dengan Kejaksaan Agung yang sudah ada dua perkara, dari KPK belum ada tipikor yang menjerat perusahaan atau korporasi,” tegas Syarif.
Sementara, Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali menyebut, Proses menerbitkan Perma tentang Korporasi bukan perkara mudah. Bahkan, perma tersebut menjadi perma yang memakan proses paling lama untuk di terbitkan sepanjang sejarah MA.
Menurut Hatta, Sedikitnya 70 UU di Indonesia sudah mengatur ketentuan kejahatan korporasi. Namun, tidak ada hukum acara yang jelas untuk mengusut kejahatan korporasi. Maka Perma Korporasi di terbitkan untuk memberi kepastian hukum acara yang belum di akomodasi dalam KUHAP.
“Saya ingat terbitnya SK tentang pembentukan Pokja Perma ini kurang lebih setahun yang lalu, dan baru beberapa bulan lalu, tepatnya akhir 2016 lahir perma ini,” ujar Hatta Ali.
Hatta mengatakan, Perma Korporasi sangat membantu penegak hukum termasuk hakim agar tidak gamang menangani korporasi. Sebab perma tersebut memuat batasan istilah mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi. Kendati memakan proses yang tidak sebentar dan melibatkan banyak pihak.
Hatta Ali meyakini, Masyarakat memiliki kebingungan terhadap Perma Korporasi sehingga menimbulkan pro dan kontra.
“Inilah sulitnya perma ini lahir, namun masih ada juga komentar menyatakan, pro dan kontra terhadap perma ini,” kata Hatta Ali.***
Editor : Deni
Suara Pembaruan / BeritaSatu.com